Pengalaman Bedah Mulut Infeksi Akut Abses Fossa Canina Dextra. Hari itu usai menyetrika, mendadak aku merasa sekujur tubuh nyeri. Padahal beberapa jam sebelumnya aku masih sehat walafiat, dengan posisi berdiri kira-kira hampir 2 jam, menyetrika tanpa penat!
Iya, aku lebih suka menyetrika sambil berdiri. Menurutku, hasilnya lebih rapi. Mungkin karena sejak dulu, ibu terbiasa mengajarkan aku cara ini, jadi terbawa-bawa deh sehingga kini.
Aku lalu merebahkan diri sambil mengingat-ingat kembali gerangan apa penyebabnya, kog sampai sekujur badan mendadak nyeri begini.
Saat babang suami pulang aku minta tolong dipijit, karena eh karena tangan suami jempol semua, hahaha...
Alhamdullillah perasaan sedikit jadi lebih baik meski waktu terasa merambat sangat lambat sampai akhirnya malam menjelang dengan tubuh masih sedikit nyeri karena aku terbiasa tidak mengkonsumsi obat pereda nyeri, aku tetap berangkat ke pulau kapuk.
Keesokan harinya nyeri tubuhku sedikit hilang, namun sebagai gantinya, saat bercermin aku menyadari, pipi sebelah kanan agak bengkak.
Hmmm, ini pasti karena geraham goyang itu lagi, rutukku dalam hati. Aku sudah sering alami hal ini sebelumnya.
Refleks aku membuka mulut, ya ampun, gusiku bengkak sekali, itu dia penyebab pipi ikutan super tembem. Kayak pentolan!
Biasanya aku akan berkumur dengan air garam dan semuanya akan kembali lebih baik!
Jadi gini,
Gigi geraham bagian kanan atas aku kan goyang tuh. Nah, saat goyangnya masih "sedikit" aku konsultasi laa ke dokter gigi keluarga.
Setelah diperiksa secara menyeluruh, dinyatakan gusi dan gigiku sehat tidak ada infeksi, hanya goyang saja, itu juga masih, yaitu tadi, "belum terlalu goyang!"
Dokter menyarankan agar dirawat dulu, dengan harapan bisa kembali normal.
Caranya dengan rajin konsumsi vitamin C dan kumur dengan air garam hangat, karena gusi dan giginya masih sehat. Kalau ada keluhan, boleh kembali, begitu menurut dokter.
Aku langsung bersorak dalam hati, yay, asyik tak perlu dicabut!
Bukan apa-apa sih karena kalau dicabut bisa dipastikan saat aku tertawa, geraham ompong akan menghiasi media sosial, bisa-bisa harga pasaran terjun bebas, hahaha...
Tapi benar kog, itu adalah alasan utama aku untuk menunda mencabutnya.
Aku sudah mencoba tampil beda dengan mengandalkan pose senyum tanpa kelihatan gigi, seems it is not work for me. Selalu saja fotoku seolah seperti sedang "menahan" apa gitu. Something is missing but I don't now what.
Intinya gak sedap saja dipandang, hiiksss. Di lain kesempatan malah terlihat meninggalkan kesan jutek tingkat dewa. Aku aja ngeri memandangnya!
Kembali ke laptop!
Aku, atau tepatnya kami sekeluarga cocok banget dengan dokter gigi Norma ini. Sosoknya yang ramah dan gemar berbagi langsung mencuri hati.
Iya, tak perlu diminta, beliau akan berbagi detail penyakit yang kami derita. Bahkan jika pasien kurang ramai, kami juga kerap bercanda, tapi tentu saja waktu sesi konsultasi ya.
Jadilah beberapa tahun aku merawat gigi geraham goyang itu dengan berbekal teknik dari dokter gigi keluarga tadi seperti perbanyak konsumsi vitamin C dan kumur dengan air garam.
Alhamdullillah hampir 5 tahun aku mengamalkan ini, gigi geraham yang goyang tak pernah menyusahkan, tap pernah nyeri! Memang sih masih goyang dan aku kerap menggunakan mulut sebelah kiri untuk mengunyah makanan.
Memasuki tahun ke 6, seiring bertambahnya usia, geraham goyang rupanya semakin goyang.
Suatu hari aku merasakan agak sedikit nyeri dan ketika membuka mulut aku melihat gusi tempat geraham goyang alami sedikit pembengkakan.
Aku konsultasi ke dokter gigi di Puskesmas. Karena masih sakit aku dikasih obat penawar nyeri dan diminta kembali lagi saat nyeri hilang dan selanjutnya geraham aku akan dicabut karena sudah sangat goyang.
Nah di sinilah masalah bermula.
Ketika nyeri geraham hilang, aku tak kembali lagi ke Puskesmas, karena masih sayang dengan geraham, meski aku akui ada perasaan tidak nyaman saat mengunyah dan berbicara.
Bau mulut juga cepat timbul jika usai makan aku tidak langsung menyikat gigi. Tapi, aku masih tetap ngotot tidak mau ke dokter gigi, masih dengan alasan yang sama untuk alasan estetika, karena geraham kanan sebelah atas ini, saat aku tersenyum lepas pasti akan kelihatan jelas.
Begitulah, naif sekali ya alasanku ini. Silahkan bully aku, kaka... :).
Dan... akhirnya hari ini mencapai puncaknya. Gigi geraham yang goyang protes dengan caranya sendiri!
Sungguh aku tak pernah alami bengkak seperti ini plus super nyeri, hiii!
Aku langsung minta ditemani babang suami ke dokter gigi. Karena sudah pakai BPJS kami harus menyesuaikan dengan klinik yang bekerja sama dengan BPJS dan itu bukan dokter Norma!
Alhamdullillah, dokter gigi kali ini masih muda dan ramah juga.
Saat itu dia membawa balitanya ke kamar praktek. Gadis kecil itu sedang duduk di kursi periksa pasien (dental chair) yang seperti well, kursi di film futuristik, menurutku, eeeaaa.
Gadis kecil itu pun seperti mengerti dan tanpa diminta dia beringsut pergi.
Saat itu tak ada pasien lain, aku langsung dilayani dan diperiksa. Saat membuka mulut tak sadar aku meringis kesakitan. Dokter tampak terkejut dan dia langsung berkata "Ibu, saya rujuk ke dokter spesialis bedah mulut (Sp. BM) ya, langsung pergi sekarang!"
"Baik, Dok" aku mendengar suaraku saja kurang jelas karena tak bisa membuka mulut dengan sempurna.
"Saya tak bisa menangani kasus ibu, sudah parah, harus ke spesialis bedah mulut, ya Bu"
Sambil berkata dokter membuat rujukan.
"Ibu mau dirujuk kemana?"
"Rumah Sakit Umum Daerah saja, Dok!"
Di dalam mobil menuju Rumah Sakit Umum Daerah aku menahan nyeri yang amat sangat. Sudah seperti kami duga sebelumnya, rumah sakit yang menjadi rujukan pasien BPJS ini bukan main ramainya, dan sesuai prosedur kami juga harus ngantri dong ya.
Saat giliran tiba, staff rumah sakit menghubungi poli gigi dan ternyata sudah tutup. Ternyata sistem pelayanan di poli gigi pakai sistim kuota. Kalau sudah memenuhi 17 kuota pasien, maka dengan alasan apapun tidak akan menerima pasien lagi, karena untuk satu tindakan per pasien bisa makan waktu lama, tergantung diagnosa.
Kami memaklumi alasan ini. Staff itu kemudian merujuk kami ke Rumah Sakit Dr. R Hardjanto yang dulu disebut Rumah Sakit Tentara (RST).
Sebenarnya aku ingin ke Rumah Sakit Pertamina, dengan alasan babang suami punya teman SMA yang kini menjadi wakil direktur di sana, namun ternyata BPJS tidak menjalin kerja sama dengan mereka.
So, I have no choice dong ya, karena ingin mengakhiri derita ini. Drama banget yak!
Masih dengan nyeri yang menyayat hati, kami bergerak lagi menuju RS Dr. R. Hardjanto. Ramai lagi dan antri lagi. Ngeri!
Ternyata hari itu beberapa calon prajurit sedang diperiksa oleh dokter bedah mulut yang sama. Jadi pasien umum dan calon prajurit berebut perawatan dokter bedah mulut ini.
Ruang tunggu penuh dengan pasien, dan ternyata ada yang sudah menunggu sejak poli gigi belum buka. Apalagi aku yang sudah datang siangan, entah jam berapa kelak tiba giliran. Duh, aku membayangkan bertambah lama lagi derita nyeri yang harus akunikmati eh jalani.
Untung ada gadget dan internet yang menemani jadi sambil menunggu pun aku tetap masih produktif karena saat itu aku dapat pekerjaan jadi influencer sebuah provider.
Bosan duduk aku berjalan hilir mudik ke sana dan ke sini sambil sesekali mengambil foto seperti yang satu ini.
Jam hampir menunjukkan jam satu siang ketika akhirnya namaku dipanggil.
Aku diminta menunggu karena saat itu dokter sedang berhadapan dengan seorang calon prajurit. Nada suara dokter sangat tinggi dan penuh emosi. Calon prajurit di depannya hanya menunduk.
Dokter bedah mulut ini seorang wanita sekaligus juga perwira, terlihat dari seragam dan tanda pangkatnya. Duh, belum-belum aku sudah merasa terintimidasi.
Akhirnya giliranku tiba!
"Apa keluhannya, Bu?"
"Geraham atas kanan goyang dan infeksi sepertinya, dokter"
"Coba kita periksa!"
Kami berdua menuju dental chair yang bagiku penampakannya saja sudah sangat mengintimidasi, hihihi.
Takkan pernah aku lupakan momen emosionil ini, sesi percakapanku, sesaat dokter melakukan pemeriksaan, aku masih duduk di dental chair.
"Ibu harus dirawat nih, sudah parah banget, rawat inap ya!"
Aku sejenak terdiam, membayangkan betapa tidak nyamannya berada di rumah sakit, lalu dengan terbata dan lirih aku menjawab...
"Apakah... apakah... masih bisa dirawat jalan saja, bu dokter?"
Sungguh reaksinya di luar ekspektasi aku!
"Ibu ini gimana sih, kondisi ibu ini sudah parah, dan bisa berakibat kematian, tahu nggak sih! Jadi kalau ntar ada apa-apa jangan salahkan saya ya, Bu!"
Usai berkata ketus begitu dokter meninggalkan aku dan langsung menuju tempat duduknya.
Dengan tubuh gemetar aku menyusul dari belakang, nyeri gigi semakin tak tertahankan, aku mencoba tegar, namun apa daya air yang menganak akhirnya lolos juga di kedua pipi.
"Lho, kenapa ibu menangis, saya cuma bilang apa adanya, kasus ibu ini sudah parah!"
Saat itu aku hanya mengatakan apa yang ada dibenakku.
"Coba dokter ngomongnya lebih halus dok, jangan kasar begitu, jawabku bergetar"
"Lho saya memang begini bu kalau ngomong, tuh tanya staff-staff saya!"
Sambil berkata begitu mata dokter itu menyapu pandangan ke seluruh orang yang berada di ruangan. Aku hanya terdiam dan cuma bisa menatap staff yang berada tepat di depanku. Tatapannya yang penuh iba padaku bisa aku rasakan.
"Jadi, gimana, mau dirawat atau mau pulang, Bu!"
Kali ini nada suaranya sudah tidak seketus tadi.
"Baiklah, saya dirawat saja, bu dokter"
Aku sudah tidak bisa konsentrasi lagi mendengarkan instruksi dokter. Aku hanya melihat tangan dokter meraih beberapa formulir, mengisinya, menconteng dan menyerahkan ke staffnya.
Ruangan hening seketika. Bahkan kalau ada jarum jatuh bisa terdengar kayaknya.
Beberapa saat kemudian, staff yang tadi iba melihatku segera mendatangi dan berbisik
"Ibu, duduk di situ dulu, katanya sambil menunjuk ke sofa panjang"
Selanjutnya aku diminta ke ruangan laboratorium sambil membawa formulir periksa darah lengkap. Setelah diambil darah aku juga diminta ke ruangan rontgen.
Di sini aku dirontgen di bagian wajah. Alat berputar mengelilingi wajahku. Tak sampai 5 menit, aku diminta menunggu hasilnya.
Di sini juga tak lama, kira-kira 10 menit, hasil aku dapatkan dalam amplop coklat. Sambil kembali ke ruangan dokter bedah mulut kami singgah di ruang laboratorium untuk ambil hasil darah yang tadi.
Saat kembali melewati ruang tunggu sudah tak ada orang lagi, rupanya jam layan pasien sudah berakhir.
"Berdasarkan hasil pemeriksaan dukungan ini, ibu harus dibedah besok ya, jadi mulai nanti malam jam 10 harus sudah puasa karena ibu akan dibius total"
Alhamdullillah, kali ini suara ibu dokter sejuk banget. Mungkin sudah selesai makan siang ya, hahaha...
Selanjutnya oleh perawat kami diminta lapor lagi ke loket BPJS untuk mengurus ruangan rawat inap. Sesaat sebelum menyerahkan formulir ke petugas sekilas aku membaca diagnosa utama yang tertera, "Abses Fossa Canina Dextra"
Tak ada kesulitan di sini, staff BPJS menangani secara profesional dan ruangan kelas 3 masih tersedia.
Kami izin sebentar untuk makan siang di kantin rumah sakit. Aku mengunyah pelan-pelan di bagian mulut sebelah kiri. Untung soto kantin rumah sakit itu endes, satu mangkok soto pun ludes, des!
Usai makan kami lapor lagi ke BPJS dan kami segera diantar ke ruang perawatan di kelas 3 sesuai kelas BPJS.
Babang suami izin mau sholat zuhur. Kebetulan aku sedang datang bulan, jadi libur deh.
Kejadian di ruang dokter masih aku simpan, karena aku tahu karakter babang yang tak bisa menerima perlakuan seperti ini. Bisa-bisa ada drama berseri nanti.
Aku diarahkan ke ruangan di mana aku akan berbagi dengan 7 orang wanita dewasa. Ruangan kelas 3 ini, punya AC namun sepertinya rusak karena jendela ruangan dibuka lebar-lebar dan kipas angin gantung sedang beroperasi. Siap-siap kepanasan ntar malam, pikirku dalam hati.
Usai sholat zuhur, babang izin pulang mau ambil beberapa pakaian untuk stok selama di rumah sakit. Menurut dokter sih usai bedah aku bisa langsung pulang. Jadi tak perlu banyak membawa stok pakaian.
Malam itu aku tidur bersama pasien lain sedangkan babang pulang. Kasihan kalau harus tidur di lantai rumah sakit. Lagi pula aku masih bisa melakukan semua aktivitas sendiri.
Oh iya selang infus di pasang saat menjelang Isya. Jadi sejak sore aku masih bebas wira-wiri sambil bermain gadget. Rasa nyeri di gigi sesekali menghampiri dan pipiku semakin bengkak seperti zombie.
Beberapa pasien mendatangiku dan menanyakan penyakitku. Mata mereka menatap penuh iba. Aku menjawab terbata karena nyeri semakin menggila saat mulut terbuka.
Keesokan pagi, datanglah berita itu lewat perawat jaga!
Berita apakah gerangan?
Cerita selanjutnya bersambung di pengalaman bedah mulut infeksi akut gigi geraham.
Iya, aku lebih suka menyetrika sambil berdiri. Menurutku, hasilnya lebih rapi. Mungkin karena sejak dulu, ibu terbiasa mengajarkan aku cara ini, jadi terbawa-bawa deh sehingga kini.
Aku lalu merebahkan diri sambil mengingat-ingat kembali gerangan apa penyebabnya, kog sampai sekujur badan mendadak nyeri begini.
Saat babang suami pulang aku minta tolong dipijit, karena eh karena tangan suami jempol semua, hahaha...
Alhamdullillah perasaan sedikit jadi lebih baik meski waktu terasa merambat sangat lambat sampai akhirnya malam menjelang dengan tubuh masih sedikit nyeri karena aku terbiasa tidak mengkonsumsi obat pereda nyeri, aku tetap berangkat ke pulau kapuk.
Keesokan harinya nyeri tubuhku sedikit hilang, namun sebagai gantinya, saat bercermin aku menyadari, pipi sebelah kanan agak bengkak.
Hmmm, ini pasti karena geraham goyang itu lagi, rutukku dalam hati. Aku sudah sering alami hal ini sebelumnya.
Refleks aku membuka mulut, ya ampun, gusiku bengkak sekali, itu dia penyebab pipi ikutan super tembem. Kayak pentolan!
Biasanya aku akan berkumur dengan air garam dan semuanya akan kembali lebih baik!
Jadi gini,
Gigi geraham bagian kanan atas aku kan goyang tuh. Nah, saat goyangnya masih "sedikit" aku konsultasi laa ke dokter gigi keluarga.
Setelah diperiksa secara menyeluruh, dinyatakan gusi dan gigiku sehat tidak ada infeksi, hanya goyang saja, itu juga masih, yaitu tadi, "belum terlalu goyang!"
Dokter menyarankan agar dirawat dulu, dengan harapan bisa kembali normal.
Caranya dengan rajin konsumsi vitamin C dan kumur dengan air garam hangat, karena gusi dan giginya masih sehat. Kalau ada keluhan, boleh kembali, begitu menurut dokter.
Aku langsung bersorak dalam hati, yay, asyik tak perlu dicabut!
Bukan apa-apa sih karena kalau dicabut bisa dipastikan saat aku tertawa, geraham ompong akan menghiasi media sosial, bisa-bisa harga pasaran terjun bebas, hahaha...
Tapi benar kog, itu adalah alasan utama aku untuk menunda mencabutnya.
Aku sudah mencoba tampil beda dengan mengandalkan pose senyum tanpa kelihatan gigi, seems it is not work for me. Selalu saja fotoku seolah seperti sedang "menahan" apa gitu. Something is missing but I don't now what.
Intinya gak sedap saja dipandang, hiiksss. Di lain kesempatan malah terlihat meninggalkan kesan jutek tingkat dewa. Aku aja ngeri memandangnya!
Kembali ke laptop!
Aku, atau tepatnya kami sekeluarga cocok banget dengan dokter gigi Norma ini. Sosoknya yang ramah dan gemar berbagi langsung mencuri hati.
Iya, tak perlu diminta, beliau akan berbagi detail penyakit yang kami derita. Bahkan jika pasien kurang ramai, kami juga kerap bercanda, tapi tentu saja waktu sesi konsultasi ya.
Jadilah beberapa tahun aku merawat gigi geraham goyang itu dengan berbekal teknik dari dokter gigi keluarga tadi seperti perbanyak konsumsi vitamin C dan kumur dengan air garam.
Alhamdullillah hampir 5 tahun aku mengamalkan ini, gigi geraham yang goyang tak pernah menyusahkan, tap pernah nyeri! Memang sih masih goyang dan aku kerap menggunakan mulut sebelah kiri untuk mengunyah makanan.
Memasuki tahun ke 6, seiring bertambahnya usia, geraham goyang rupanya semakin goyang.
Suatu hari aku merasakan agak sedikit nyeri dan ketika membuka mulut aku melihat gusi tempat geraham goyang alami sedikit pembengkakan.
Aku konsultasi ke dokter gigi di Puskesmas. Karena masih sakit aku dikasih obat penawar nyeri dan diminta kembali lagi saat nyeri hilang dan selanjutnya geraham aku akan dicabut karena sudah sangat goyang.
Nah di sinilah masalah bermula.
Ketika nyeri geraham hilang, aku tak kembali lagi ke Puskesmas, karena masih sayang dengan geraham, meski aku akui ada perasaan tidak nyaman saat mengunyah dan berbicara.
Bau mulut juga cepat timbul jika usai makan aku tidak langsung menyikat gigi. Tapi, aku masih tetap ngotot tidak mau ke dokter gigi, masih dengan alasan yang sama untuk alasan estetika, karena geraham kanan sebelah atas ini, saat aku tersenyum lepas pasti akan kelihatan jelas.
Begitulah, naif sekali ya alasanku ini. Silahkan bully aku, kaka... :).
Dan... akhirnya hari ini mencapai puncaknya. Gigi geraham yang goyang protes dengan caranya sendiri!
Sungguh aku tak pernah alami bengkak seperti ini plus super nyeri, hiii!
Aku langsung minta ditemani babang suami ke dokter gigi. Karena sudah pakai BPJS kami harus menyesuaikan dengan klinik yang bekerja sama dengan BPJS dan itu bukan dokter Norma!
Alhamdullillah, dokter gigi kali ini masih muda dan ramah juga.
Saat itu dia membawa balitanya ke kamar praktek. Gadis kecil itu sedang duduk di kursi periksa pasien (dental chair) yang seperti well, kursi di film futuristik, menurutku, eeeaaa.
Gadis kecil itu pun seperti mengerti dan tanpa diminta dia beringsut pergi.
Saat itu tak ada pasien lain, aku langsung dilayani dan diperiksa. Saat membuka mulut tak sadar aku meringis kesakitan. Dokter tampak terkejut dan dia langsung berkata "Ibu, saya rujuk ke dokter spesialis bedah mulut (Sp. BM) ya, langsung pergi sekarang!"
"Baik, Dok" aku mendengar suaraku saja kurang jelas karena tak bisa membuka mulut dengan sempurna.
"Saya tak bisa menangani kasus ibu, sudah parah, harus ke spesialis bedah mulut, ya Bu"
Sambil berkata dokter membuat rujukan.
"Ibu mau dirujuk kemana?"
"Rumah Sakit Umum Daerah saja, Dok!"
Di dalam mobil menuju Rumah Sakit Umum Daerah aku menahan nyeri yang amat sangat. Sudah seperti kami duga sebelumnya, rumah sakit yang menjadi rujukan pasien BPJS ini bukan main ramainya, dan sesuai prosedur kami juga harus ngantri dong ya.
Saat giliran tiba, staff rumah sakit menghubungi poli gigi dan ternyata sudah tutup. Ternyata sistem pelayanan di poli gigi pakai sistim kuota. Kalau sudah memenuhi 17 kuota pasien, maka dengan alasan apapun tidak akan menerima pasien lagi, karena untuk satu tindakan per pasien bisa makan waktu lama, tergantung diagnosa.
Kami memaklumi alasan ini. Staff itu kemudian merujuk kami ke Rumah Sakit Dr. R Hardjanto yang dulu disebut Rumah Sakit Tentara (RST).
Sebenarnya aku ingin ke Rumah Sakit Pertamina, dengan alasan babang suami punya teman SMA yang kini menjadi wakil direktur di sana, namun ternyata BPJS tidak menjalin kerja sama dengan mereka.
So, I have no choice dong ya, karena ingin mengakhiri derita ini. Drama banget yak!
Masih dengan nyeri yang menyayat hati, kami bergerak lagi menuju RS Dr. R. Hardjanto. Ramai lagi dan antri lagi. Ngeri!
Ternyata hari itu beberapa calon prajurit sedang diperiksa oleh dokter bedah mulut yang sama. Jadi pasien umum dan calon prajurit berebut perawatan dokter bedah mulut ini.
Ruang tunggu penuh dengan pasien, dan ternyata ada yang sudah menunggu sejak poli gigi belum buka. Apalagi aku yang sudah datang siangan, entah jam berapa kelak tiba giliran. Duh, aku membayangkan bertambah lama lagi derita nyeri yang harus aku
Untung ada gadget dan internet yang menemani jadi sambil menunggu pun aku tetap masih produktif karena saat itu aku dapat pekerjaan jadi influencer sebuah provider.
Bosan duduk aku berjalan hilir mudik ke sana dan ke sini sambil sesekali mengambil foto seperti yang satu ini.
Jam hampir menunjukkan jam satu siang ketika akhirnya namaku dipanggil.
Aku diminta menunggu karena saat itu dokter sedang berhadapan dengan seorang calon prajurit. Nada suara dokter sangat tinggi dan penuh emosi. Calon prajurit di depannya hanya menunduk.
Dokter bedah mulut ini seorang wanita sekaligus juga perwira, terlihat dari seragam dan tanda pangkatnya. Duh, belum-belum aku sudah merasa terintimidasi.
Akhirnya giliranku tiba!
"Apa keluhannya, Bu?"
"Geraham atas kanan goyang dan infeksi sepertinya, dokter"
"Coba kita periksa!"
Kami berdua menuju dental chair yang bagiku penampakannya saja sudah sangat mengintimidasi, hihihi.
Takkan pernah aku lupakan momen emosionil ini, sesi percakapanku, sesaat dokter melakukan pemeriksaan, aku masih duduk di dental chair.
"Ibu harus dirawat nih, sudah parah banget, rawat inap ya!"
Aku sejenak terdiam, membayangkan betapa tidak nyamannya berada di rumah sakit, lalu dengan terbata dan lirih aku menjawab...
"Apakah... apakah... masih bisa dirawat jalan saja, bu dokter?"
Sungguh reaksinya di luar ekspektasi aku!
"Ibu ini gimana sih, kondisi ibu ini sudah parah, dan bisa berakibat kematian, tahu nggak sih! Jadi kalau ntar ada apa-apa jangan salahkan saya ya, Bu!"
Usai berkata ketus begitu dokter meninggalkan aku dan langsung menuju tempat duduknya.
Dengan tubuh gemetar aku menyusul dari belakang, nyeri gigi semakin tak tertahankan, aku mencoba tegar, namun apa daya air yang menganak akhirnya lolos juga di kedua pipi.
"Lho, kenapa ibu menangis, saya cuma bilang apa adanya, kasus ibu ini sudah parah!"
Saat itu aku hanya mengatakan apa yang ada dibenakku.
"Coba dokter ngomongnya lebih halus dok, jangan kasar begitu, jawabku bergetar"
"Lho saya memang begini bu kalau ngomong, tuh tanya staff-staff saya!"
Sambil berkata begitu mata dokter itu menyapu pandangan ke seluruh orang yang berada di ruangan. Aku hanya terdiam dan cuma bisa menatap staff yang berada tepat di depanku. Tatapannya yang penuh iba padaku bisa aku rasakan.
"Jadi, gimana, mau dirawat atau mau pulang, Bu!"
Kali ini nada suaranya sudah tidak seketus tadi.
"Baiklah, saya dirawat saja, bu dokter"
Aku sudah tidak bisa konsentrasi lagi mendengarkan instruksi dokter. Aku hanya melihat tangan dokter meraih beberapa formulir, mengisinya, menconteng dan menyerahkan ke staffnya.
Ruangan hening seketika. Bahkan kalau ada jarum jatuh bisa terdengar kayaknya.
Beberapa saat kemudian, staff yang tadi iba melihatku segera mendatangi dan berbisik
"Ibu, duduk di situ dulu, katanya sambil menunjuk ke sofa panjang"
Selanjutnya aku diminta ke ruangan laboratorium sambil membawa formulir periksa darah lengkap. Setelah diambil darah aku juga diminta ke ruangan rontgen.
Di sini aku dirontgen di bagian wajah. Alat berputar mengelilingi wajahku. Tak sampai 5 menit, aku diminta menunggu hasilnya.
Di sini juga tak lama, kira-kira 10 menit, hasil aku dapatkan dalam amplop coklat. Sambil kembali ke ruangan dokter bedah mulut kami singgah di ruang laboratorium untuk ambil hasil darah yang tadi.
Saat kembali melewati ruang tunggu sudah tak ada orang lagi, rupanya jam layan pasien sudah berakhir.
"Berdasarkan hasil pemeriksaan dukungan ini, ibu harus dibedah besok ya, jadi mulai nanti malam jam 10 harus sudah puasa karena ibu akan dibius total"
Alhamdullillah, kali ini suara ibu dokter sejuk banget. Mungkin sudah selesai makan siang ya, hahaha...
Selanjutnya oleh perawat kami diminta lapor lagi ke loket BPJS untuk mengurus ruangan rawat inap. Sesaat sebelum menyerahkan formulir ke petugas sekilas aku membaca diagnosa utama yang tertera, "Abses Fossa Canina Dextra"
Tak ada kesulitan di sini, staff BPJS menangani secara profesional dan ruangan kelas 3 masih tersedia.
Kami izin sebentar untuk makan siang di kantin rumah sakit. Aku mengunyah pelan-pelan di bagian mulut sebelah kiri. Untung soto kantin rumah sakit itu endes, satu mangkok soto pun ludes, des!
Usai makan kami lapor lagi ke BPJS dan kami segera diantar ke ruang perawatan di kelas 3 sesuai kelas BPJS.
Babang suami izin mau sholat zuhur. Kebetulan aku sedang datang bulan, jadi libur deh.
Kejadian di ruang dokter masih aku simpan, karena aku tahu karakter babang yang tak bisa menerima perlakuan seperti ini. Bisa-bisa ada drama berseri nanti.
Aku diarahkan ke ruangan di mana aku akan berbagi dengan 7 orang wanita dewasa. Ruangan kelas 3 ini, punya AC namun sepertinya rusak karena jendela ruangan dibuka lebar-lebar dan kipas angin gantung sedang beroperasi. Siap-siap kepanasan ntar malam, pikirku dalam hati.
Usai sholat zuhur, babang izin pulang mau ambil beberapa pakaian untuk stok selama di rumah sakit. Menurut dokter sih usai bedah aku bisa langsung pulang. Jadi tak perlu banyak membawa stok pakaian.
Malam itu aku tidur bersama pasien lain sedangkan babang pulang. Kasihan kalau harus tidur di lantai rumah sakit. Lagi pula aku masih bisa melakukan semua aktivitas sendiri.
Oh iya selang infus di pasang saat menjelang Isya. Jadi sejak sore aku masih bebas wira-wiri sambil bermain gadget. Rasa nyeri di gigi sesekali menghampiri dan pipiku semakin bengkak seperti zombie.
Beberapa pasien mendatangiku dan menanyakan penyakitku. Mata mereka menatap penuh iba. Aku menjawab terbata karena nyeri semakin menggila saat mulut terbuka.
Keesokan pagi, datanglah berita itu lewat perawat jaga!
Berita apakah gerangan?
Cerita selanjutnya bersambung di pengalaman bedah mulut infeksi akut gigi geraham.
Agak ngeri bacanya, tapi jadi reminder banget, nih. Makasih, Mbak.
BalasHapusSama, ini juga self reminder.
HapusKudu perhatian kalau tubuh sudah kasih peringatan.
Alhamdulillah aku belum pernah ke dokter gigi. Dan ga pengen, huhuhu.
BalasHapusSerem banget dokternya ya bu. Apakah memang karakternya seperti itu ataukah ini ada faktor Be pe je es ya?
Fajarwalker.com
Mungkin ibu dokter sedang lelah, hahaha...
HapusSoalnya habis maksi, ramah kembali...
Hmm..sakit bener ya rasanya abses itu.
BalasHapusAku jarang banget ketemu pasien abses begini, Kak, sebab kalau begini-begini ini sudah langsung lari ke dokter gigi yang ahli operasi.
Ditunggu cerita selanjutnya ya.. 😊
Iya, ini lagi touch up draft biar enak dibaca, bu dokter :).
HapusMbaaaa...
BalasHapusMana tuh dokter gak punya perasaan, jangan2 hatinya abis digadaikan tuh.
Kalau saya gitu udah nangis gulung2 di lantai hahaha.
Enak saja dia bekerja atas (saya memang orangnya gini)
Dia tuh kerja loh yaaa.. Di gaji...!!!
Gak ada tuh alasan 'saya orangnya gini'
Seorang dokter yang kayak gini nih yang bikin pasien gigi selalu ogah ke dokter gigi.
Bikin emosi aja bacanya 😂😂
Btw, penasaran..
Apa penyebab abses separah itu?
Saya pernah abses gitu, di geraham bawah.
Gak pernah sakit, cuman setiap kali gak sengaja dibuat mengunyah langsung bengkak aja tapi gak sakit sama sekali.
Awalnya cuma goyang saja tuh geraham.
HapusGak ada berlubang dan gusi saya dikatakan sehat.
Mungkin karena sudah lama (lewat 5 tahun) mungkin akar gigi sudah semakin goyah dan masuk kuman, jadi infeksi dan melebar ke pipi. Duh sakitnya, mbaaa...
Terus pipi bengkak banget hampir menyentuh mata gundukannya, padahal gak sampai 1x24 jam dari aku alami nyeri.
Hiii... seram sekali!
Duh saya bacanya sambil deg-degan, secara punya kasus gigi berlubang, fisuruh cabut tpi belum berani juga
BalasHapusKonsul dulu sama Spesialis bedah mulut, mba.
HapusBiar dicari jalan keluar terbaik.
Jangan meniru saya.
Sayang-sayang geraham goyang, eh malah abses.
bacanya sampai ikut deg-degan nih Mbak...lanjut cuss ke apa yang terjadi kemudian aja lah, p e n a s a r a n !!
BalasHapusKayak sinetron aja ya, bersambung, bahahaha.
HapusLumayan buat pageviews laaa, :),
Enam tahun bersama geraham goyang. Luar biasa cueknya,Kak.hehehe...
BalasHapusIya, ini memang tidak untuk ditiru, hahaha.
HapusMakanya geraham protes dengan gaya luar biasa.
Awalnya, memang goyangnya cuma dikit. Terus di back up sama dokter, ok, gak usah dicabut. Sueneng dong ya.
Harusnya di Puskesmas itu aku harus kembali untuk cabut gigi. Dan aku harus membayar mahal, dengan nyeri, radang dan infeksi.
Semoga hanya aku saja yang alami ini.
Itu kenapa aku berbagi di sini :).
Dokternya kenceng ya ngomongnya?,, hehe,, jd penasaran baca lanjutannya
BalasHapusDokter juga manusia ya, Mas :).
HapusMungkin beliau sedang lelah.
Mbaaa, ini bacanya sambil sedikit emosi ama si dokter, tp juga serem ngebayangin sakitnya :( . Duuh gigi itu kalo sakit memang menyiksa bangetttt.. Mungkin krn deket saraf yaaa, jd sekalinya sakit kepala kayak mau pecah
BalasHapusSetuju.
HapusSakit seputar gigi itu memang harus serius ditangani sejak dini, itulah moral ceritaku ini, mba :).
aku ngilu sendiri ngebayanginnya :|
BalasHapusJangan sampai deh mba Linda, alami seperti ini.
HapusItulah kenapa aku share di blog ini :).
aku jadi ngilu mba..
BalasHapuspaling takut ke dokter gigi pokoknya. tapi kalo sakit gigi, jangan dianggap remeh deh ya.
saya ada gigi geraham kiri udah bolong dan sebagian pecah,ingin cabut sebenernya.. tp gara gara pernah ibu jadi korban malpraktek domter gigi.. saya jd takut. soalnya ibu dulu gusi sama pipi sampe bengkak gede.
BalasHapusproses dari sakit hingga masuk ruang bedah bikin tegang, setelah selesai bikin lega, akhirnya selesai juga saya baca postingannya mba sampai sini, hahha karena saya juga dari kecil sudah 'bersahabat' dgn masalah gigi..bagian geraham yang dieman-eman juga akhirnya tahun lalu dicabut dan ganti dgn yg palsu..semoga sehat selalu mba :)
BalasHapusUrusan gigi memang serem ya mbak, padahal kayaknya kecil. Saya ada impaksi gigi bungsu dan harus operasi juga, tapi masih belom :(
BalasHapusTFS ya mbak bisa jadi reminder untuk diri sendiri nih
BalasHapusgalak amat bu dokternya wkwk
BalasHapusKenapa ya, ada dokter yg super duper galak dan heartless?
BalasHapusApa karena dia dulu membayangkan bahwa jadi dokter itu asyiiiiik dan duitnya banyak tanpa kudu ngelayanin pasien?
:D
--bukanbocahbiasa(dot)com--
Wahh jadi makin terpacu buat ke dokter gigi deh. Daripada makin parah kan ya. Aku ada gigi yang bolong ini. Harus secepatnya ditangani. Semoga setelah ini makin rajin merawat gigi kita ya, mbak
BalasHapusKalau soal urusan gigi tuh gak boleh dianggap remeh ya, karena di gigi inilah banyak saraf yang bisa kemana-mana. Aku termasuk yang kurang rajin ke dokter gigi, karena alhamdulillah belum menemukan yang serius dan jagan sampai.
BalasHapusJadi hawatir sama keadaan gigi saya yang berlubang. Udah lama juga saya tidak berkunjung ke dokter gigi
BalasHapusYa ampun jd inget pengalaman duku waktu kecil.. cabut gigi dengan paksaan oleh si dokter tanpa bius.. huiihh kakau diinget lagi bikin ngerii huhuhu
BalasHapusBisa sampai akut begitu ya mba.. jadi serem liatnya..semoga terhindar dari sakit seperti ini
BalasHapusDuh masalah gigi yng kadang sepele n disepelekan ternyata klo dibiarkan berbahaya ya biaya perawatan jd lbh mahal
BalasHapuskadang yang sering dianggap sepele itu besar ya efeknya huhuhu jadi harus ekstra jaga kesehatan
BalasHapusNah iya nih mbak pelajaran banget ya buat yg kalau sakit gigi jangan terus kabur kalau sakitnya udah reda ikuti saran dokter untuk dicabut. Nggak boleh dianggap sepele ya kalau sakit gigi tuh apalagi geraham
BalasHapusSetuju.
HapusIni sekaligus pelajaran sepanjang usia untukku